Ilustrasi. Cerita Bersambung PUTRA FAJAR (2) |
SANG
GURU DITUDUH MAKAR
Genap satu bulan tujuh hari penanggalan
saka, bayi Gde Putra Fajar menghirup udara buana. Musibah itu datang. Ayahnya,
difitnah rekan sejawat sebagai pemakar. Prestasi yang dicapai, Ketut Bajra
selama dua tahun terakhir tak dihargai rekan gurunya. Persaingan ketat yang
dikontruksi oleh pihak keresidenan Belanda, di sekolah cukup berhasil. Catur
warna, sebagai konsep profesionalisme diubah semena-mena menjadi catur
kasta yang berdinding tebal oleh Belanda. Dominasi atas, bagi kalangan
para brahmana sebagai seorang guru, fungsinya diplesetkan secara piawai oleh kapitalis Belanda. Status Ketut Bajra, dianggap
sebagai keturunan “sudra” tak selayaknya menyandang predikat guru. Guru hanya
boleh diperankan oleh kaum kasta brahmana. Ia lebih cocok sebagai buruh,
pelayan kaum yang berada di golongan kasta di atasnya. Belanda melancarkan
strategi devide et impera, memecah belah dan memaksa untuk menguasai budaya
pribumi secara halus.
Penjajah Belanda memang licik, dengan
caranya yang halus menanamkan pemahaman keliru menimbulkan konflik sosial bagi
masyarakat jajahan. Beberapa orang yang menyandang gelar abadi diwariskan
secara turun temurun sebagai brahmana, ksatria dan wesia pun terpengaruh. Beberapa
teman sekerja Ketut, dibuat terbakar karena kemampuan yang dimiliki Ketut
Bajra. Pasalnya, Belanda menebar isu bahwa keluarga Ketut Bajra adalah keluarga
bogolan yang kena hukuman Belanda
karena pernah menentang Belanda dengan cara membantu pasukan musuh Belanda
yakni Raja I Gusti Made Karangasem dan Patih Jelantik tatkala mengadakan
puputan di Jagaraga tahun 1849. Begitu pula, yang membuat mereka jengkel. Istri
Ketut berdarah beda, bukan dari suku yang berkeyakinan sama. Akhirnya,
satu-satunya jalan mematahkan kemampuan Ketut dengan menebar fitnah.
“Nak, kuharap kau menyadari posisi kita.
Sebagai guru janganlah terlalu menonjolkan diri. Nanti, kita dimusuhi sama
orang sendiri….!”pesan ayahnya, Komang Tantra sebelum menghembuskan nafas
terakhir akibat TBC akut, tepat setahun yang lalu. Tiga bulan setelah perayaan
‘ upacara merebu’ pernikahannya. Pesan ayahnya, justru menjadi pemacu
semangatnya untuk menunjukkan kemampuan yang dimiliki selama ini. Ia pun
menggarap perkumpulan pendidikan tradisional yang dinamakan Panti Dharma dengan
ide mirip seperti Perguruan Taman Siswa. Tujuannya untuk mencerdaskan para kaum
sudra yang selalu diinjak harkat martabatnya. Ide kontroversi ini cukup
berhasil di desa-desa dan mendapat sambutan dari tetua adat. Apalagi semangat
Budi Utomo di tanah Jawa menambah perjuangannya mendirikan Panti Darma di
seluruh pelosok dusun.
Sosok kepemimpinan guru Ketut Bajra,
semakin hari semakin bersinar. Ia bagaikan senjata bajra Dewa Brahma yang
dipegang oleh Dewi Saraswati sebagai ibu ilmu pengetahuan. Berusaha gigih
mencerdaskan kehidupan bangsa yang terpuruk akibat kerja paksa dan perbudakan.
Bahkan, beberapa orang dari golongan warna brahmana, ksatria dan wesia
mendukung kegiatannya dengan memberikannya tempat serta modal awal untuk
bekerja.
Namun nasib tak bisa ditolak, tatkala
usia putranya berumur jagung. Ia tak pernah menduga, akan bernasib patah
arang. Satu batalyon infantri polisi,
bagian pasukan keresidenan mendatangi
pondoknya.
“He, dimana residivis inlander Ktut
Bajra….! Surat perintah Residen Buleleng untuk menangkapnya hidup atau
mati….beserta seluruh keluarganya….!”teriak Letnan Stevenson sembari
menunjukkan surat perintah penangkapan.
Para serdadu ambon yang menjadi bawahannya
mulai mengikat istri dan ibunya. Sedangkan, Gde Putra Fajar masih berada
dirangkulan Nuning. Ketika tangisan bayi itu mengejutkan Ketut Bajra yang
sedang mencuci sepeda di belakang pondok. Tergopoh-gopoh ia keluar, didapatinya
istrinya bersimpuh pucat, tangannya diikat tali karung.
“Maaf…Tuan Polisi. Ada apa dengan istri
dan ibuku ?!”sergah Ketut Bajra.
Komandan polisi itu menyerahkan surat yang
mendiskriditkan dirinya tentang laporan beberapa guru di sekolahnya tentang
perbuatan makar terhadap pemerintahan Belanda. Wajahnya sontak pucat
pasi. Namun, ia berusaha tenang.
“Aku tak pernah berbuat makar….semua ini
fitnah….!”
“Kamu bisa punya alasan, nanti di
pengadilan Kota Raja. Kamu bisa bilang sama pokrol kamu. Kami hanya menjalankan
tugas….!”ujar Letnan Stevenson. Lalu memerintahkan anak buahnya untuk mengikat
lengan Ketut Bajra, lalu menyeret mereka keluar seperti orang hukuman.
Sampai di pintu halaman pondok rumah
bambu. Tiba-tiba dari balik pohon besar, seorang misterius, berpakaian serba
hitam menyambar Nuning dan putranya. Gerakan kilat yang tak mungkin diikuti
mata biasa. Para serdadu polisi dengan persenjataan lengkap pun mengokang
senapannya. Daaar….! Suara ledakan senapan, tembakan serentak mengarah kepada
bayangan yang menghilang di balik pohon besar, penuh semak berduri. Kemudian
mereka berhamburan menuju ke arah pohon besar, dengan pedangnya merambas semak.
Tak ditemukan orang yang melarikan istri Ketut Bajra serta putranya.
“Siiiapa itu….?”tanya Letnan Stevenson
pada Ketut Bajra, yang terbelalak tak percaya akan pandangannya. Kembali bule
itu melontarkan pertanyaan yang sama dan mendapat jawaban bisu dari Ketut
Bajra. Saking jengkelnya popor pistol digenggamannya dihantamkan ke dahi Ketut
yang mengerang kesakitan.
“Jangan siksa anakku….ia tak
bersalah….!”tangis ibu Ketut Bajra sembari meneteskan air mata, merembes di
lipatan keriput tulang pipinya.
“Sudah….seret
laknat ini ke kantor!”perintah Letnan Stevenson tanpa belas kasihan. Warga
sekitarnya berhamburan ke jalan melihat peristiwa memilukan yang sangat menyayat
dada. Mereka bertanya-tanya, salah apa guru mereka sehingga harus ditahan
polisi Belanda. Ketut Bajra tak pernah menentang perintah Belanda. Ia bahkan
guru yang paling teladan, dengan membangun Panti Darma di dusun-dusun,
menjadikan program pendidikan Pemerintah
Hindia Belanda menyentuh sampai ke lapisan bumi putera paling bawah. Sehingga, kendati mereka dibebani pajak tinggi. Nawa mereka tak
merasa dibebani. Karena, dengan pendidikan yang diberikan oleh Belanda telah
terbayar tekanan keras selama ini, yang dihadapi mereka. (Bersambung)Edisi terbitan:
I Putu Sugih Arta. (eds.2) 2016, Cerbung Putra Fajar, Kota: Mataram. www.rakyatina.com/ [04/06/2016]
No comments:
Note: Only a member of this blog may post a comment.