Ilustrasi. Cerita Bersambung: Putra Fajar |
Edisi-1/cerbung
Edisi terbitan:
I Putu Sugih Arta. (eds.3) 2016, Cerbung Putra Fajar, Kota: Mataram. www.rakyatina.com/ [10/06/2016]
TERDAMPAR
DI PADEPOKAN SRINTI HITAM
Entah bagaimana kejadiannya, Nuning
pingsan dalam bopongan orang yang bertangan kekar. Ia baru sadar, tatkala
suasana sejuk menerpa tarikan nafas pertamanya. Ia berada di sebuah ruangan
berdinding anyaman bambu seluas + 8 meter persegi. Atapnya dari ilalang,
dan lantainya dari papan kering. Tak ada orang selain putranya yang masih
berumur 2 bulan.
Dari balik jendela yang menghadap ke jalan
ia mengintip keluar, dilihatnya jelas rumah-rumah panggung berjajar dengan rapi
sampai dipengkolan lantas menghilang tertutup pepohonan. Benaknya
bertanya-tanya, di mana ia dan putranya berada ? Namun, perasaan lubuk hati
terdalam menjawab, untuk tak perlu galau. Sebab, tempat tinggalnya menyiratkan
aura aman yang sangat terlindungi dari ancaman bahaya.
Kreeet….! Suara pintu kamar perlahan terbuka,
orang tua yang berusia tujuh puluhan tahun masuk membawa nasi yang dibungkus
daun pisang.
“Makanlah dulu….kau pasti lapar….”katanya
dengan suara yang berat. Meletakkan nasi bungkus berikut kendi tanah liat di atas meja. Tanpa
banyak bicara, lantas keluar dari kamar itu. Dari suara orang tua itu nampak
jelas ia bukan orang jahat. Nuning merasakan hawa perlindungan memancar dari
suara itu. Namun siapa dia ?
Nuning bertanya-tanya dalam hati. Selama ini,
dalam keluarga besar Ketut Bajra tak ada wajah seperti itu. Hanya, ia pernah
mendengar cerita ayahnya Ketut, bahwa kakek Ketut seorang pejuang pembela tanah
air tatkala puputan Jagaraga. Ia menghilang tak diketemukan jasadnya. Apakah
ini orangnya ? Batinnya bertanya-tanya, Nuning dari usia kanak-kanak mempunyai
kepekaan tersendiri terhadap sesuatu, jarang tebakannya gagal jika suara
hatinya menebak demikian.
Daripada harus berpikir lama, perutnya
mulai keroncongan. Nuning meraih nasi bungkus yang masih terasa hangat.
Dibukanya lipatan daun yang dihubungkan dengan semat bambu. Aroma sedap dendeng
kerbau dengan bumbu plalah yang mengundang rasa lapar membuatnya lahap
mengabiskan sisa nasi yang menempel di punggung daun pisang. Saat ceret air di
teguknya, orang tua itu muncul dari pintu.
“Nuning, benar sekali apa yang kau
pikirkan…”tebaknya. “Aku adalah kakek dari Ketut Bajra yang menghilang saat
ayahnya masih orok,”lanjutnya.
“Haah….????!”Nuning terkejut setengah
mati, ulu hatinya mendadak mual, nasi yang telah bersarang di lambungnya terasa
hendak mbrojol keluar.
“Jangan biasakan kau terkejut di tempat
ini….anggap hal biasa saja….”sarannya.
“Tapi, kakek kenapa kami diajak ke sini ?
Daerah apa namanya ?”
“Dusun ini bernama Dusun Kalimaya,
tersembunyi di antara dua buah bukit. Kami gunakan tempat strategis ini untuk
melindungi diri dari penjajah Belanda, sejak mereka bercokol di tanah Bali,
mereka selalu mengejar-kejar kami. Karena dianggap berbahaya dan suatu saat
dapat mengusir mereka dari pulau ini. Kami mendirikan Padepokan Srinti Hitam,
yang bertugas melindungi perkampungan ini dari orang jahat….”
“Padepokan Srinti Hitam …?!”
“Ya, semacam perguruan kanuragan yang
diwariskan oleh I Jero Mangku Anaring Peken. Seorang pertapa yang kerap
dipanggil Tuan Peken, jika turun ke kota membeli bahan-bahan makanan untuk
pelayan Pura Konco yang dibangun leluhurnya dulu saat zaman Sriwijaya….”
“Pura Konco yang dipesisir… ?!”Nuning
pernah melintasi pelabuhan Gilimanuk
melihat Pura itu megah berdiri menghadap laut.
“Ya, cucuku….tapi leluhurnya dulu. Namun,
sejak bergabung dengan pasukan Patih Jelantik ia dianggap pemberontak. Kakek
bersahabat baik dengan Tuan Peken pun dianggap musuh Belanda. Terpaksa kami
menghilang membangun padepokan di sini. Dan, percuma melakukan perlawanan
karena menurut ramalan Dewa Konco jika Sang Putra Fajar belum dewasa, negeri
ini akan dijajah Belanda kemudian dijajah pula oleh pasukan Matahari Terbit. Untuk
melakukan perlawanan sia-sia, hukumnya dosa. Sambil menunggu dewasanya Sang
Putra Fajar, kami menata tempat ini menjadi sebuah padepokan kanuragan yang
sangat rahasia…”
“Tapi, apa alasan Kakek menyelamatkan kami
saja. Sedangkan, suami dan ibu mertua tidak ditolong seperti aku dan anakku
?”Wajah Nuning memelas hendak menangis saking sedihnya mengingat Ketut Bajra
dalam bahaya.
“Alasannya, karena cucu buyutku lah yang
bernama Gde Putra Fajar…. Perintah Tuan Peken untuk menyelamatkan keturunanku.
Tak ada alasan yang lain….!”Orang tua itu sedih, wajahnya muram mengingat
cucunya ditangkap Belanda. Mungkin sekarang mengalami siksaan yang tak terkira
deritanya. Mereka pun membisu.
Di dada Nuning yang sesak oleh kesedihan,
ribuan pertanyaan menggantung di antaranya tentang status nama yang disandang
putranya. Apakah itu, alasan yang tepat Belanda menciduk suaminya ? Atau yang
lain. Sejak saat itu, Nuning lebih berdiam diri. Ia tak mau berbicara. Tapi,
kegiatan di kampung itu, yang kebetulan dipimpin oleh Ketua Kelihan yakni kakeknya
sendiri tetap dilakoninya. Sehingga, warga semakin simpati kepada Nuning dan
putranya.
Saban malam, Nuning digembleng ilmu
kanuragan dari kakeknya yang dikenal dengan nama Pendekar Utama Srinti Hitam.
Latihan pun diikuti, karena memang tradisi padepokan yang mewajibkan seluruh
anggota keluarga di kampung itu, terutama dari usia kanak-kanak telah mampu
berjalan diberikan pelatihan ilmu yang sama. Tujuannya untuk memobilisasi kekuatan
kampung menjadi hebat. Padepokan pun menjadi kukuh. Seperti namanya Srinti
Hitam, menghasilkan daya kekuatan pada sarangnya. Daya sarang burung Srinti
mampu menyebuhkan segala penyakit yang di derita orang sekaligus menambah
vitalitas tubuh.
Sekian hari telah berlalu, Nuning telah
beradaptasi dengan baik. Kepribadian supelnya menghantar kepada teman-temannya.
Mereka sangat menyukai kepribadian Nuning yang ramah dan tak memilih berteman,
siapa pun dijadikan sahabat.
Hari yang naas itu datang, seseorang pendekar
teliksandi dari Padepokan Srinti Hitam melompat-lompat di atas wuwungan rumah
panggung yang berjejer rapi. Lalu,
dengan piawainya menggunakan ilmu meringankan tubuh jumpalitan turun tepat di halaman
rumahnya. Nuning menyambut pemuda bertopeng ramah. Ia pun membuka cadar
hitamnya.
“Bu Nuning, aku mau bertemu Bape Kelihan….!”
“Aduh Bape lagi ke hutan mencari kayu
bakar. Ada yang perlu disampaikan ? Kendati rahasia, aku akan menjaganya sebaik
mungkin….!”
Pendekar teliksandi tanpa ragu lagi
menyampaikan sebuah berita duka. Guru Ketut Bajra dihukum gantung di alun-alun
pagi ini karena dituduh makar oleh Belanda. Nuning pun menangis sejadi-jadinya.
Tiada lama kemudian Kakeknya datang dari hutan, menemukan cucunya menangis ia
pun bertanya kepada teliksandi.
“Di alun-alun mana ?”sergahnya.
“Kotaraja, Bape ….!”sahut Teliksandi.
“Ayo kita kesana, selamatkan cucuku…!”
“Aku ikut….!”isak Nuning sembari
menggendong Gde Putra Fajar membuntuti kedua pendekar itu dari belakang.
Jarak padepokan dengan koraraja cukup jauh
ditempuh dengan berjalan kaki. Sampailah
mereka di alun-alun, sudah hampir siang kerumunan orang-orang sangat banyak.
Dari ketinggian, dilihatnya dari jauh, leher Ketut Bajra dikalungkan tali oleh
penjajah itu. Terlambat….! Suara salvo senapan pasukan Belanda menggelegar.
Bersamaan dengan itu, kursi tempat Ketut berdiri dilepas. Hanya sekian menit
saja, kejadian itu.
Nuning kelelahan, dengan tertatih-tatih
mendekati kerumunan orang-orang yang menurunkan tubuh Ketut Bajra yang kejang
dengan mata melotot. Lidah terjulur. Tatapan bocah lugu nampak sedih, melihat langsung
ayahnya dari dekat, kaku telah menjadi mayat. Nuning tak bisa berkata-kata.
Lehernya tercekat, bibirnya kering. Matanya nanar, berputar. Saat hendak
terjungkal, ia merasakan tubuhnya melayang seperti diterbangkan burung raksasa.
Rupanya, sepasang pendekar Srinti Hitam itu sigap menangkap tubuh Nuning dan
anaknya. Segera menjauhkannya dari beberapa anggota pasukan Belanda yang sengaja
datang ke arahnya.(Selesai)
Edisi terbitan:
I Putu Sugih Arta. (eds.3) 2016, Cerbung Putra Fajar, Kota: Mataram. www.rakyatina.com/ [10/06/2016]
No comments:
Note: Only a member of this blog may post a comment.