ILUSTRASI Cerita Bersambung PUTRA FAJAR (1) |
RAKYATINA.COM | CERBUNG: CERITA BERSAMBUNG OLEH I PUTU SUGIH ARTA
RINAI GERIMIS MENERPA FAJAR
Senja itu, Nuning terhenyak. Usia
kehamilannya yang telah memasuki 9 bulan hari ini, pertanda sewaktu-waktu putra
sulungnya akan lahir. Tinggal menunggu waktu saja, sedangkan Ketut Bajra suaminya
belum pulang dari menjemput Men Jirna si dukun bayi.
Senja pun meremang petang. Suaminya, belum
datang juga. Awan hitam menggumpal membawa petir yang menyambar pohon-pohon
besar. Nuning semakin cemas. Rasa was-was, semakin mengantui pikirannya. Ia tak
pernah membayangkan hidup dengan penuh mengerikan seperti ini. Sebelum ia
mengenal suaminya. Hidupnya dari keluarga yang berkecukupan di Kota Surabaya.
Ayahnya yang masih keturunan ningrat dan menjabat kepala sekolah rakyat cukup menjamin kehidupan yang keras di
atas bayang-bayang pemerintah Belanda. Lantas, bertemu dengan Ktut Bajra secara
kebetulan saja, tatkala seorang guru baru
yang ditugaskan mengajar di pedalaman Banyuwangi menghadap ayahnya. Mengajukan
permohonan pindah ke Buleleng.
Sepasang mata pemuda itu indah sekali,
sangat berbeda dengan pemuda keturunan Jawa lainnya.
“Romo, siapa pemuda itu ?”tanya Nuning,
saat santap malam.
“Oh, itu ? Namanya Ketut….”
Nuning terperanjat saking kagetnya.
“Walaah…jorok banget namanya ! Romo, apakah
nggak ada nama lain, kok orang tuanya memilih nama jorok gitu ?”
Raden Mas Aryo Kumitir, tersenyum melihat
tingkah polah putrinya yang bergelagat aneh.
“Nduk… kamu belum mengahui budaya suku
lain. Tiap suku bangsa yang ada di bawah pemerintahan Hindia Belanda memiliki
ciri khas yang unik. Seperti, pemuda itu. Ia berasal dari Bali. Ciri khas orang
Bali, dilihat dari namanya. Anak pertama namanya Gde atau Putu, yang kedua
namanya Nengah atau Made, yang ketiga namanya Nyoman atau Komang dan terakhir
yang bungsu namanya Ketut…..”
“Oh, Ketut bukan kentut ya Romo….!”
“Kamu yang justru salah ngerti to nduk….!”
“Ya, Romo…Nuning tak akan berprasangka
lagi hik….hik….hik….”derainya mengingat kekeliruan yang telah diperbuatnya.
Sejak saat itulah, bayangan wajah Ketut
Bajra muncul tak mengenal waktu. Nuning yang bersekolah di Sekolah Keutamaan
Putri sering kali menceritakan peristiwa yang dialaminya kepada teman-temannya.
Sehingga, Winda yang selalu dengki padanya memfitnahnya telah mempunyai pacar.
Padahal aturan sekolah yang ketat, tak mengijinkan siswinya mempunyai pacar
selama menutut ilmu.
Sekolah menjadi heboh. Sungguh mengerikan,
sampai ayahnya harus menghadap Ibu Kepala Sekolah untuk mengklarifikasi
peristiwa yang dialaminya.
“Bapak sebagai guru,apalagi diberi
kepercayaan sebagai Kepala Sekolah Rakyat seyogyanya memahami aturan pendidikan
yang dikeluarkan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Dalam rangka menyukseskan
pendidikan kaum pribumi, tak diperkenankan seorang siswi berpacaran…”ujar Bu
Mareta yang berambut kriting dari Ambon.
Ayah yang biasanya halus, tiba-tiba
menjadi sangar. Kumisnya berdiri, membentak
Nuning.
“Apakah benar kamu berpacaran di sekolah
?!”
Nuning menutup wajahnya. “Tidak Romo….mana berani Nuning melanggar
aturan….”
Raden Mas Aryo Kumitir menoleh ke arah Bu Mareta dengan wajah
meminta pertanggungjawaban.
“Ta…tapi…Winda yang bilang!”kilah Bu Mareta.
“Tolong ibu panggil anak yang memfitnah
anak saya….!”
Winda pun dipanggil Kepala Sekolah. Dihadapan
Kepala Sekolah, ia mengelak mengatakan kata-kata fitnahannya. Akhirnya, Nuning pun
direhabilitasi namanya. Ia kembali bersekolah dengan tenang.
Peristiwa demi peristiwa pun dialaminya
sampai akhirnya setamat sekolah ia pun berhubungan diam-diam dengan Ketut
melalui surat. Akhirnya, Ketut berhasil pindah ke kampung halamannya. Dan,
berpacaran lewat surat. Mereka lakoni, sampai keluarga Ketut dari Buleleng
datang memintanya untuk dijadikan istri anaknya.
Pintu diketuk dari luar, menghentak buyar
lamunan Nuning. Perutnya semakin mules. Tapi, ia berusaha bangkit dari dipan
bamboo tempatnya berbaring. Saat pintu dibuka, suaminya bersama si dukun bayi
masuk. Nampak dari wajah Ketut, rasa khawatir yang luar biasa.
“Me, bagaimana ini ?”
“Biar aku lihat dulu…,”kata Men Jirna,
sembari memegang kandungan Nuning. Mulutnya yang mengulum pinang sirih nampak
merah bara. “Belum…belum ada tanda-tanda, sabarlah!”lanjutnya.
Pagi menjelang, kokok ayam jantan semakin
keras bersahutan. Cahaya sang fajar menembus langit timur. Perut Nuning mulai
sakit melilit. Ia pun berteriak mengejutkan Men Jirna yang tak kuasa menahan kantuk. Tapi, karena
pengalamannya ia pun membantu persalinan.
Rinai gerimis mulai deras di hamparan
fajar menyingsing. Suara tangis bayi lelaki melengking membangunkan jagat raya.
Seolah menyampaikan pesan, telah lahir sosok bayi yang akan membangkitkan
bangsamu dari keterpurukan di bawah cengkraman panji kolonialis. Imperialis
yang kejam.
Ketut Bajra merangkul putranya, ia
membisikkan mantra gayatri, lalu berkata, ”ditengah perjuangan bangsamu, engkau
bagaikan cahaya fajar yang memberikan semangat pantang menyerah untuk membela
tanah airmu dari cengkraman penjajah….!” Air mata Ketut berlinang.
Nuning yang masih dalam perawatan Men
Jirna, tak tahan melihat adegan ayah yang sedang menggendong anaknya yang masih
merah. Ia pun urun menangis saking harunya. Ia dengar kata-kata suaminya dengan
jelas.
“Nak, kuberi nama kamu Gde Putra Fajar,
semoga dalam perjalanan kehidupanmu mendapatkan sinar kemuliaan….” (Bersambung)
Edisi terbitan:
I Putu Sugih Arta. (eds.1) 2016, Cerbung Putra Fajar, Kota: Mataram. www.rakyatina.com/ [30/05/2016]
No comments:
Note: Only a member of this blog may post a comment.